15/06/12

Pasangan Hidup Sejati


Suatu waktu, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 orang istri. Dia mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak. Sebab, dialah yang tercantik diantara semua istrinya. Pria ini selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini. Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya.
Namun, ia juga selalu khawatir kalau istrinya ini akan lari dengan pria yang lain. Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian. Kapanpun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini. Dialah tempat bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.

Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi kehidupan keluarga ini. Dia lah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sang suami. Akan tetapi, sang pedagang, tak begitu mencintainya. Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang padanya, namun, pedagang ini tak begitu mempedulikannya. Suatu
ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari, bahwa ia akan segera meninggal. Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati.


"Saat ini, aku punya 4 orang istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri." Lalu, ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya.
"Kaulah yang paling kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah.
Nah, sekarang, aku akan mati, maukah kau mendampingiku dan menemaniku? Ia terdiam. "Tentu saja tidak, "jawab istri keempat, dan pergi begitu saja tanpa berkata-kata lagi. Jawaban itu sangat menyakitkan hati. Seakan-akan, ada pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya. Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga. "Akupun mencintaimu sepenuh hati, dan saat
ini, hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku, dan menemani akhir hayatku? Istrinya menjawab: Hidup begitu indah disini. Aku akan menikah lagi jika kau mati. Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya mulai merasa demam. Lalu, ia bertanya pada istri keduanya. "Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau
ikut dan mendampingiku?

Sang istri menjawab pelan. "Maafkan aku," ujarnya "Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti, akan kubuatkan makam yang indah buatmu. Jawaban itu seperti kilat yang menyambar.
Sang pedagang kini merasa putus asa. Tiba-tiba terdengar sebuah suara. "Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Aku, tak akan meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Sang pedagang lalu menoleh ke samping, dan mendapati istri pertamanya disana. Dia tampak begitu kurus.
Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, "Kalau saja, aku bisa merawatmu lebih baik saat ku mampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku."

KESIMPULAN

Teman, sesungguhnya kita punya 4 orang istri dalam hidup ini. Istri yang keempat, adalah tubuh kita. Seberapapun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap-Nya. Istri yang ketiga, adalah status sosial dan kekayaan. Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada
yang lain. Mereka akan berpindah, dan melupakan kita yang pernah memilikinya. Sedangkan istri yang kedua, adalah kerabat dan teman-teman.

Seberapapun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya. Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita. Dan, teman, sesungguhnya, istri pertama kita adalah jiwa dan amal kita. Mungkin, kita
sering mengabaikan, dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi.
Namun, sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi kemanapun kita melangkah. Hanya amal yang mampu
menolong kita di akhirat kelak. Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa dan amal kita dengan bijak. Jangan sampai kita menyesal belakangan.

Sebarkan Cinta Disemua Hati

Sebarkan Cinta disemua Hati

Dipagi yang cerah, mengawali hari dengan senyuman berarti menyebarkan cinta disemua hati. Hati yang penuh cinta akan mengantarkan diri kita pada kebahagiaan dan kesuksesan. Sebab dihati yang penuh cinta mengajarkan pada diri kita untuk mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri.

Saya ingat ibu saya setiap hari kamis selalu membikin kue sebab pada malam harinya dirumah selalu ada acara membaca yasinan, selain anak-anak pengajian juga para tetangga. Terkadang sepotong kue juga terasa enak karena dibuatnya dengan segenap ketulusan hati sehingga setiap kue yang saya makan menanamkan cinta didalam hati.

Saya pernah bertemu anak jika sepatah dua patah kata selanjutnya yang muncul kata-kata penghuni kebon binatang. awalnya saya terkejut mendengarkannya. Tak lama ibunya datang, baru saya menyadari bahwa sang anak mendapatkan pelajaran dari ibunya, sebab ibunda memanggil anaknya dengan sebutan salahsatu penghuni kebon binatang. Ucapan ibu itu menandakan bahwa dirinya yang sedang sakit. hati yang penuh kebencian menyebabkan luka dihati terasa perih, begitu teramat perihnya sampai terdengar dari semua apa yang diucapkan. Bahkan didengar oleh buah hatinya. Hanya dengan cintalah hati yang terluka bisa disembuhkan.

Jika hari ini anda menyapa setiap orang dengan kasih sayang pertanda hati yang sehat. Sebab hati yang sehat senantiasa ucapan dan perbuatan membawa ketentraman dan kedamaian bagi orang lain. hati yang sehat adalah hati yang penuh cinta yang melimpah. Menengok dalam diri. Saya mensyukuri tumbuh dan dewasa didalam keluarga yang selalu menanamkan bibit-bibit cinta sehingga saya juga menanam bibit-bibit cinta dalam keluarga saya. Dan jika diperkenankan saya mengajak anda mari kita sebarkan cinta disemua hati.

Anak Kecil Penjaja Kue

Anak Kecil Penjaja Kue

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan.
Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki
menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?"
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak,
saya sedang makan".

Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama.
Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda.
Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".

Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk
menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.

Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil
penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.
"Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga
untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan
uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.

"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya
ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain.

"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?".

Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis.
Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".

Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak
kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang
anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang.
Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis,
ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum
menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus
ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan", ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.


CATATAN :
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita menjadi "hijau" karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalau kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berarti besar.

Kisah Pencuri Kue

Kisah Pencuri Kue

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu
malam. Masih adabeberapa jam sebelum jadwal terbangnya
tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka.Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.Ia membaca, mengunyah kue dan
melihat jam.
Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga
mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu.
Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup,Si
lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si
lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan
yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia
begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu
gerbang. Menolak untuk menoleh pada si"Pencuri tak
tahu terima kasih!".
Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari
bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia
merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget.
Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. Koq
milikku ada disini erangnya dengan patah hati, Jadi kue tadi
adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat
untuk minta maaf, ia tersandar sedih.
Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima
kasih dan dialah pencuri kue itu.
Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering
terjadi.
Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan
kacamata kita sendiri.Serta tak jarang kita
berprasangka buruk. Orang lainlah yang kasar, orang
lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang salah. Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu. Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya. "Sebaik-baik berKetuhanan adalah tetap semangat mencari kebenaran dg lapang-hati, ... toleran, tanpa kefanatikan, & tidak membelenggu jiwa."
 

Kisah Bambu dan Petani

Kisah Bambu dan Petani

Pada suatu waktu ada sebuah kebun yang ditanami oleh berbagai tanaman indah.
Kebun itu dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati oleh seorang petani.
Setiap hari ia menyiangi dan merawat semua tanaman yang tumbuh di sana dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Dari sekian tanaman yang ada dalam kebun itu, bambu adalah tanaman yang paling dicintainya. Bambu memang tanaman yang paling indah yang tumbuh di dalam kebun itu. Bambu tumbuh
berbaris berjajar mengelilingi kebun bak pagar kokoh yang melindungi tanaman lain. Batangnya berdiri paling tinggi menjulang ke atas seolah menopang langit. Bila angin tiba, tubuhnya bergoyang-goyang lembut dan daunnya gemerisik melantunkan kidung merdu. Siapa pun yang mendengarnya pasti
terpesona. Bila hujan turun, tetes-tetes sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun berkilauan seperti anting-anting berlian dikenakan oleh seorang gadis cantik. Ranting-rantingnya taut-bertaut memberikan tempat bagi burung-burung untuk beristirahat. Di udara yang panas, daun-daun rindangnya
menaungi tanaman kecil dari teriknya mentari. Petani itu selalu memandangi bambu itu dengan pandangan penuh suka cita. Suatu hari, petani itu mendatangi bambu. Ia mengusap batang bambu itu dan berbisik pada sang bambu.
Dengan gembira, sang bambu merundukkan kepalanya perlahan agar dapat mendengar bisikan petani. Petani itu berbisik lembut, "Bambu oh bambu, aku bermaksud menggunakanmu." Bambu itu merasa berbahagia. Ia telah menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari,
dari tahun ke tahun ia memperkuat diri. Batangnya telah tumbuh hijau, kokoh, besar dan kuat.Kini tibalah waktu baginya untuk memenuhi takdir mengapa ia diciptakan di muka bumi. Bambu menjawab bisikan petani, "Oh, tuanku. Aku telah siap. Gunakan aku sebagaimana kau kehendaki."Bambu oh bambu," suara
petani itu bergetar. "Aku harus menebang dan memotong tubuhmu." Bambu itu gemetar penuh ketakutan. "Oh, tuanku. Mengapa kau harus memotong tubuhku yang indah ini? Bukankah kau telah merawatku sedemikian rupa sehingga aku tumbuh menjadi bambu tercantik yang pernah ada. Jangan potong tubuhku.
Gunakan saja aku sebagai penyejuk pandanganmu, penghias kebun ini." "Bambu oh bambu," suara petani itu semakin bergetar. "Bila aku tidak memotong tubuhmu aku tidak dapat menggunakanmu." Tiba-tiba suasana kebun itu menjadi sunyi senyap. Angin menahan nafasnya. Dengan perlahan sang bambu meluruhkan kebanggaannya, tunduk patuh pada permintaan tuannya yang telah merawat hidupnya selama ini. "Oh, tuanku. Bila kau tak dapat menggunakanku tanpa memotong tubuhku, maka lakukanlah. Potonglah tubuhku.""Bambu oh bambu,"
lanjut petani. "Aku pun akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu."
"Oh, tuanku. Kasihanilah aku," rengek sang bambu. "Kau boleh memotong tubuhku yang indah ini. Tetapi, mengapa kau harus memangkas daun dan ranting-ranting juga?""Bambu oh bambu. Bila aku tidak memangkasnya, aku tidak bisa menggunakanmu," jawab petani. Matahari menyembunyikan wajahnya.
Dengung lebah pun terhenti. Sadar akan pengabdiannya pada petani, bambu itu pun menjawab, "Oh, tuanku. Lakukanlah." "Bambu oh bambu. Aku pun akan membelah tubuhmu menjadi dua dan memotong buku-bukumu, bila tidak aku tidak
bisa menggunakanmu," kata petani. Sang bambu tersungkur di tanah penuh penyerahan diri. "Oh tuanku. Bila itu yang kau kehendaki, belahlah tubuhku."
Kemudian, petani itu memotong bambu, membersihkan batangnya dari ranting-rantng dan daun-daun. Membelah batangnya menjadi dua dan membersihkan buku-bukunya. Setelah itu, dengan hati-hati petani memanggul bambu itu dan membawanya ke lembah bukit tempat sebuah mata air jernih
memancar dari sela-sela batu. Ia lalu meletakkan satu ujung bambu untuk menampung air dan menyambung ujung satunya dengan batang bambu lain terus memanjang sehingga menuju sebuah sawah padi yang kering. Ya... bambu itu kini bertugas sebagai saluran air. Tubuhnya yang dulu menjulang tinggi, kini berkelok-kelok menuruni lembah menjadi tempat mengalirnya air bergemericik menuju sawah petani. Dan, petani pun bisa menanami sawahnya dengan pepadian.
Beberapa bulan kemudian. Padi telah menguning matang dan siap untuk dipanen. Para petani dengan suka cita turun ke sawah memanennya. Pada saat itulah, sang bambu menyadari bahwa ia pernah begitu bangga dengan kecantikannya. Namun, dalam kepatuhan dan pengorbanan, kejayaan hidupnya sedikitpun
berkurang bahkan kini ia menjadi penyambung hidup bagi dunia yang lebih semesta.


Editor: Siapakah bambu itu? Siapakah petani itu? Bila bambu itu adalah kita, manusia, apa kepatuhan kita pada Sang Maha Pencipta.

Garam dan Telaga

Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi,
datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet.
Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya.
Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama.
Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini,
untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam,
ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.
Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi,
"Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda.
Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari
wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari
perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita.
Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup,
hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu…. ! “.

Si Penjual Koran

SI PENJUAL KORAN
(sebuah renungan)
Ketika pulang dari kantor sekitar jam 17.30 BBWI, di perempatan jalan TMII menuju kampung rambutan mobilku berhenti karena lampu merah. Sekilas kulihat ada seorang anak kecil yang menjajakan koran, debu jalanan menempel dipipinya. Anak itu mengenakan kaos seragam olah raganya yang berwarna biru dan kelihatannya telah lusuh dengan celana merah, khasnya celana anak SD. Namun, di wajahnya kulihat penuh enerjik. Pertama dia tawarkan kepada mobil Kijang di depanku meskipun ternyata pemilik mobil tidak berminat membelinya, kemudian dia mendatangiku dan “Pak, korannya pak, ada koran pagi harganya didiskon deh buat bapak Rp. 500,- ada juga koran petang, “ setengah bercanda anak itu bicara. Aku tersenyum mendengar celotehannya. “Kenapa kamu masih menjual koran sore nak?
Kan beritanya udah basi,” aku coba mengajak ngobrol sambil menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. “Lumayan pak, apabila kejual untungnya buat aku semuanya”, anak itu berkata lagi. Kutimpali “ Emang gak setorkan uangnya ke pengecer?”. “Tidak pak, ini dikasih ama pengecer daripada mubazir katanya”, anak itu mencoba menjelaskannya padaku.
“Kamu sehari dapat berapa kalau jualan gini?” kutanya sambil kulihat lampu kalau-kalau sudah hijau. “Lumayan pak buat makan ama bayar sekolah” dijawab singkat olehnya. “Kalau sama para pengemis yang sebayamu itu (sambil kutunjuk beberapa anak kecil yang meminta-minta) gedean mana hasilnya” kutanya dia. Diapun menjawab” Gedean dialah, kadang mereka dapat Rp. 50.000,- sehari, kalau aku yaahhhhh kelaut aja”. Akupun tertawa mendengarnya.
“Kok kamu gak ikutan kayak mereka?,
kan lumayan hasilnya,” ujarku, “Bapakku bisa marah kalau aku seperti mereka,” kata dia seraya menunjuk kearah segerombolan anak kecil itu. “Mending jualan koran lebih bermartabat kata bapak, daripada harus ngemis seperti itu, lagian akunya juga malu, kan kata bapakku Islam menganjurkan ‘lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah’, makanya aku jualan aja, juga kata bapakku biar gedenya aku bisa jadi orang yang berguna buat orang lain, aku sendiri gak tau yang bapak omongin, tapi percaya itu benar” dengan panjang lebar dia mencoba menjelaskannya.
Akupun trenyuh mendengarnya, terus terang aku malu padanya, tanpa kenal lelah, sepulang sekolah, menahan terik matahari, bernafaskan debu jalanan, dia mencoba mencari uang demi sebuah angan-angannya. Sedangkan aku di kantor ber-AC, kerja cuma duduk saja, sesekali kadang main game, masih saja mengeluh masalah gaji yang kudapat setiap awal bulan, padahal menurut orang-orang itu sudah lebih dari cukup. Ya, Tuhan betapa aku menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat-Mu…..
“Koran tadi pagi ada berapa? Aku beli semuanya ya,” tanyaku sambil kulirik lampu lalu lintas yang belum hijau juga. “Semuanya sih ada
lima lagi tinggal kompas 3 sama republika 2, tapi buat apaan pak semuanya? Bapak kasihan ya ama aku? Setengah bingung dia bertanya. “Bapak perlu buat bungkus buku di rumah, makanya perlu banyak kan kalau dibacapun beritanya udah bapak baca di kantor tadi.” Kucoba jelaskan agar dia tidak tersinggung, padahal terus terang aku iba padanya atas ketegarannya itu. “Semuanya Rp. 2.500,- pak,” ujarnya, akupun merogoh uang Rp. 5.000,- dan menyerahkan padanya setelah kuambil lima korannya. Pas dia menghitung uang kembalianku, sebelum diserahkan padaku, mobilku berjalan pelan karena lampu sudah hijau sambil berkata padanya,”Kembaliannya besok bapak ambil ya, bapakkan sering lewat sini,” aku berkata sambil menoleh sebentar padanya, setengah bingung lagi dia cuma mengangguk. Padahal aku sering pulang kantor lewat tol, jarang lewat jalan TMII. Sengaja ku berkata begitu agar dia tidak tersinggung, kenyataannya aku memang pengen ngasih uang padanya sebagai kenang-kenangan dari seorang teman ngobrolnya di perempatan jalan, bukan karena kasihan.
Mobilku melaju menjauhinya, dalam hatiku berkata, Ya Tuhan tegarkanlah hatiku seperti anak itu dalam mengarungi hidup ini, dalam menafkahi anak istriku. Akupun berterima kasih pada anak itu atas nasihat terselubungnya. Terlintas wajah istriku dan anak tercinta, akupun menancap gas dengan pasti sambil berkata “ayah pulang nak.”

(true story, for someone who loves)

Pengorbanan dan Cinta Seorang Ibu

Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya sungguh memalukan. Ia menjadi juru masak di sekolah, untuk membiayai keluarga. Suatu hari ketika aku masih SD, ibuku datang. Aku sangat malu. Mengapa ia lakukan ini? Aku memandangnya dengan penuh kebencian dan melarikan diri.

Keesokan harinya di sekolah. ”Ibumu hanya punya satu mata?!?!” Iieeeeee, jerit seorang temanku. Aku berharap ibuku lenyap dari muka bumi. Ujarku pada ibu, “Bu, Mengapa Ibu tidak punya satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatku ditertawakan, lebih baik Ibu mati saja!!!” Ibuku tidak menyahut. Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini. Mungkin karena Ibu tidak menghukumku, tapi aku tak berpikir sama sekali bahwa perasaannya sangat terluka karenaku.

Malam itu. Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang menangis, tanpa suara, seakan-akan ia takut aku akan terbangun karenanya. Ia memandangku sejenak, dan kemudian berlalu. Akibat perkataanku tadi, hatinya tertusuk. Walaupun begitu, aku membenci ibuku yang sedang menangis dengan satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses.

Kemudian aku belajar dengan tekun. Kutinggalkan ibuku dan pergi ke Singapura untuk menuntut ilmu. Lalu aku pun menikah. Aku membeli rumah. Kemudian akupun memiliki anak. Kini aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku.
Kebahagian ini bertambah terus dan terus, ketika ibuku datang ke rumahku. Apa?! Siapa ini?! Itu ibuku. Masih dengan satu matanya. Seakan-akan langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlari ketakutan, ngeri melihat mata Ibuku. Kataku, “Siapa kamu?! Aku tak kenal dirimu!!” ”Berani-beraninya kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku! !” ”KELUAR DARI SINI! SEKARANG!!” Ibuku hanya menjawab perlahan, “Oh, maaf. Sepertinya saya salah alamat,” dan ia pun berlalu. Untung saja ia tidak mengenaliku. Aku sungguh lega. Aku tak peduli lagi. Akupun menjadi sangat lega.

Suatu hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku di Singapura. Aku berbohong pada istriku bahwa aku ada urusan kantor. Akupun pergi ke sana. Setelah reuni, aku mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah.. Hanya ingin tahu saja.

Di sana, kutemukan ibuku tergeletak dilantai yang dingin. Namun aku tak meneteskan air mata sedikit pun. Ada selembar kertas di tangannya. Sepucuk surat untukku. ”Anakku..Kurasa hidupku sudah cukup panjang.. Dan aku tidak akan pergi ke Singapura lagi. Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sekali ? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat gembira ketika tahu kau akan datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah. Demi kau. Dan aku minta maaf karena hanya membuatmu malu dengan satu mataku.

Kau tahu, ketika kau masih sangat kecil, kau mengalami kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu tumbuh hanya dengan satu mata. Maka aku berikan mataku untukmu. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia untukku, ditempatku, dengan mata itu. Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu. Ketika kau marah padaku.. Aku hanya membatin sendiri, “Itu karena ia mencintaiku” Anakku! Oh, anakku!”

Kisah Sebatang Pensil

"Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya" (Pepatah Jepang)
Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil. Dikisahkan, sebuah pensil akan segera
dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.
"Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal."
"Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal".
"Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam
dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia".
"Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu" .
"Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat".
Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.
Pembaca, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.
Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai
tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.
Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan "tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya". Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.
Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan.
Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian
akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia.
Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal
untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless.
Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.
Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan
ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler.
Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu 'sakit'. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.
Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.
Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk 'tunduk' dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari 'guru' yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.
Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi 'memberi dan melayani' yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta ataupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan.
Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler.