15/06/12

Sepatu Si Bapak Tua

Sepatu Si Bapak Tua             

Seorang bapak tua pada suatu hari hendak bepergian naik bus kota.
Saat menginjakkan kakinya ke tangga, salah satu sepatunya terlepas
dan jatuh ke jalan. Sayang, pintu tertutup dan bus segera berlari
cepat. Bus ini hanya akan berhenti di halte berikutnya yang jaraknya
cukup jauh sehingga ia tak dapat memungut sepatu yang terlepas tadi.
Melihat kenyataan itu, si bapak tua itu dengan tenang melepas
sepatunya yang sebelah dan melemparkannya ke luar jendela.
Seorang pemuda yang duduk dalam bus tercengang, dan bertanya pada si
bapak tua, ''Mengapa bapak melemparkan sepatu bapak yang sebelah
juga?'' Bapak tua itu menjawab dengan tenang, ''Supaya siapa pun yang
menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.''
Bapak tua dalam cerita di atas adalah contoh orang yang bebas dan
merdeka. Ia telah berhasil melepaskan keterikatannya pada benda. Ia
berbeda dengan kebanyakan orang yang mempertahankan sesuatu semata- mata karena ingin memilikinya, atau karena tidak ingin orang lain memilikinya.
Sikap mempertahankan sesuatu -- termasuk mempertahankan apa yang
sudah tak bermanfaat lagi -- adalah akar dari ketamakan. Penyebab
tamak adalah kecintaan yang berlebihan pada harta benda. Kecintaan
ini melahirkan keterikatan. Kalau Anda sudah terikat dengan sesuatu,
Anda akan mengidentifikasikan diri Anda dengan sesuatu itu. Anda
bahkan dapat menyamakan kebahagiaan Anda dengan memiliki benda
tersebut. Kalau demikian, Anda pasti sulit memberikan apapun yang
Anda miliki karena hal itu bisa berarti kehilangan sebagian
kebahagiaan Anda.

Kalau kita pikirkan lebih dalam lagi ketamakan sebenarnya berasal
dari pikiran dan paradigma kita yang salah terhadap harta benda. Kita
sering menganggap harta kita sebagai milik kita. Pikiran ini salah.
Harta kita bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan dan amanah yang
suatu ketika harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban kita
adalah sejauh mana kita bisa menjaga dan memanfaatkannya.

Peran kita dalam hidup ini hanyalah menjadi media dan perantara.
Semuanya adalah milik Tuhan dan suatu ketika akan kembali kepadaNya.
Tuhan telah menitipkan banyak hal kepada kita: harta benda, kekayaan,
pasangan hidup, anak-anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menjaga
amanah ini dengan baik, termasuk meneruskan pada siapa saja yang
membutuhkannya.
Paradigma yang terakhir ini akan membuat kita menyikapi masalah
secara berbeda. Kalau biasanya Anda merasa terganggu begitu ada orang
yang membutuhkan bantuan, sekarang Anda justru merasa bersyukur.
Kenapa? Karena Anda melihat hal itu sebagai kesempatan untuk
menjadi ''perpanjangan tangan'' Tuhan. Anda tak merasa terganggu
karena tahu bahwa tugas Anda hanyalah meneruskan ''titipan'' Tuhan
untuk membantu orang yang sedang kesulitan.

Cara berpikir seperti ini akan melahirkan hidup yang
berkelimpahruahan dan penuh anugerah bagi kita dan lingkungan
sekitar. Hidup seperti ini adalah hidup yang senantiasa bertambah dan
tak pernah berkurang. Semua orang akan merasa menang, tak ada yang
akan kalah. Alam semesta sebenarnya bekerja dengan konsep ini, semua
unsur-unsurnya bersinergi, menghasilkan kemenangan bagi semua pihak.

"Pah, bacakan untukku, ya"

"Pah, bacakan untukku, ya"           

Pada suatu malam Budi, seorang eksekutif sukses, seperti biasanya sibuk memperhatikan berkas-berkas pekerjaan kantor yang dia bawa pulang ke rumah, karena keesokan harinya ada rapat umum yang sangat penting dengan para pemegang saham.
Ketika sedang asyik menyeleksi dokumen kantor tersebut,
Putrinya Jessica datang mendekati, berdiri tepat di sampingnya,
sambil memegang buku cerita baru.

Buku itu bergambar seorang peri kecil yang *imut*,
sangat menarik perhatian Jessica,
"Pa, liat!" Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya.
Budi menengok ke arahnya, sambil menurunkan kaca matanya.
Kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa-basi "Wah, buku baru ya, Jes?"
"Ya, Papa" Jessica berseri-seri karena merasa ada tanggapan dari ayahnya. "
*Bacain* Jessi *dong*, Pa," pinta Jessica lembut.

"Wah Papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang *deh*," sanggah Budi dengan cepat.
Lalu ia segera mengalihkan perhatiannya pada kertas-kertas yang berserakkan di depannya. Jessica bengong. Tapi ia belum menyerah. Dengan suara lembut dan sedikit manja ia kembali merayu "Pa, Mama bilang, Papa mau baca untuk Jessi."

Budi mulai agak kesal, "Jes, Papa sibuk, sekarang Jessi suruh Mama baca ya?"
"Pa, Mama *cibuk* terus. Nih, Papa *liat* gambarnya, lucu-lucu."
"Lain kali Jessica. Sana! Papa lagi banyak kerjaan!"
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi. Menit demi menit berlalu, Jessica menarik napas panjang dan tetap di situ, berdiri di tempatnya penuh harap, dan tiba-tiba ia mulai lagi.
"Pa..., gambarnya bagus. Papa pasti suka..."
"Jessica, PAPA BILANG, LAIN KALI!!" Budi membentaknya dengan keras.
Kali ini Budi berhasil, semangat Jessica kecil terkulai, hampir menangis, matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya. "Iya, Pa. Lain kali ya, Pa?"
Ia masih sempat mendekati ayahnya dan sambil menyentuh lembut tangan ayahnya, ia menaruh buku cerita di pangkuan sang Ayah. "Pa, kalau Papa ada waktu, Papa baca keras-keras ya Pa, supaya Jessica bisa *denger*...."

Hari demi hari telah berlalu, tanpa terasa dua pekan telah berlalu
namun permintaan Jessica kecil tidak pernah terpenuhi,
Buku cerita Peri *imut*, belum pernah dibacakan bagi dirinya.
Hingga suatu sore terdengar suara hentakan keras "Buukk..!!"

Beberapa tetangga melaporkan dengan histeris bahwa Jessica kecil terlindas kendaraan seorang pemuda mabok yang melajukan kendaraannya dengan kencang di depan rumah Budi.
Tubuh Jessica mungil terentak beberapa meter. Dalam keadaan yang begitu panik, ambulance didatangkan secepatnya,.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Jessica kecil sempat berkata dengan begitu lirih
"Jessi takut Pa, Jessi takut Ma, Jessi sayang Papa-Mama."
Darah segar terus keluar dari mulutnya hingga ia tidak tertolong lagi ketika sesampainya di rumah sakit terdekat.

Kejadian hari itu begitu mengguncangkan hati nurani Budi.
Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji.
Kini yang ada hanyalah penyesalan.
Permintaan sang buah hati yang sangat sederhana pun tidak dia penuhi.
Masih segar terbayang dalam ingatan Budi tangan mungil anaknya yang memohon kepadanya untuk membacakan sebuah cerita, kini sentuhan itu terasa sangat berarti sekali,
"...Papa baca keras-keras ya Pa, supaya Jessica bisa dengar..."
Kata-kata Jessi itu mengiang kembali.

Sore itu setelah segalanya berlalu, yang tersisa hanya keheningan dan kesunyian hati.
Canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi.
Budi mulai membuka buku cerita peri *imut*
yang diambilnya perlahan dari onggokan mainan Jessica di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak baru lagi,
sampulnya sudah usang dan koyak.
Beberapa coretan tak berbentuk menghiasi lembar-lembar halamannya seperti sebuah kenangan indah dari Jessica kecil.
Budi menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan sura keras.
Tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras.Ia terus membacanya dengan keras-keras, halaman demi halaman, dengan berlinang air mata.
"Jessi, dengar Papa baca ya..."

Selang beberapa kata, hatinya memohon lagi "Jessi, Papa mohon ampun, Nak.
Papa sayang Jessi.." Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya.
Tak kuasa menahan sakit itu, Budi bersujud dan menangis...,
memohon satu kesempatan lagi untuk belajar mencintai.

Kelingking

Kelingking     

Alkisah tentang seorang raja perkasa yang hobi berburu. Selagi
berburu, kudanya meringkik sembari mengangkat kaki ke atas. Rajakaget, lalu terpelanting. Kelingkingnya putus. Raja marah. ''Sudahlah Paduka. Kalau kena musibah, mbok bersyukur saja,'' ujar seorang penasihatnya.

Raja bukannya luluh malah tambah murka. Dengan lantang
berteriak : 'Penjarakan penasihat goblok ini!' Para pengawal yang
selalu sendiko dawuh, tabu untuk membantah, melaksanakan perintah itu. Sang penasihat pun dijebloskan ke bui.

Lima tahun kemudian, kala berburu, raja ini ditangkap suku primitif.
Pria gagah berkulit putih mulus ini akan dipersembahkan pada dewa. Hanya saja, setelah diteliti, lho, kelingkingnya terpotong. Cacat. Terpaksa diafkir. Sebagai pengganti, pengawalnya yang tidak cacat dijadikan korban. Pengawal itu dieksekusi, dan rajanya dipulangkan.

Setelah itu raja menyadari kekhilafannya. Penasihat yang dulu dibui itu pun dilepaskan. ''Ananda memang harus bersyukur tidak memiliki kelingking,'' kata Raja, mengakui kesalahannya. Ternyata, sang penasihat pun bersyukur, ''Kalau saja saya tidak dipenjarakan oleh Paduka, mungkin, hamba sudah menggantikan Paduka sebagai tumbal.''

Jagung

Jagung
           
Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai
rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunannya.

"Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?" tanya sang wartawan.
"Tak tahukah anda?," jawab petani itu.
"Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga
saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula."

Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula.

Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang
disentuhnya.

Gratis Sepanjang Masa

Gratis Sepanjang Masa 
           
Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur
Ia menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya
Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek
Ia pun membaca tulisan itu dan inilah isinya:

Untuk memotong rumput 2 Dinar
Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini 1 Dinar
Untuk pergi ke toko disuruh ibu 1/2 Dinar
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja 1/2 Dinar
Untuk membuang sampah 1 Dinar
Untuk nilai yang bagus 3 Dinar
Untuk membersihkan dan menyapu halaman 1/2 Dinar
Jadi jumlah utang ibu adalah 8 1/2 Dinar

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap
Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu
Lalu ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya
Dan inilah yang ia tuliskan:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, gratis
Untuk semua malam ibu menemani kamu, gratis
Mengobati kamu dan mendoakan kamu, gratis
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu, gratis
Kalau dijumlahkan semua, harga cinta ibu adalah gratis
Untuk semua mainan, makanan, dan baju, gratis
Anakku... dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
Akan kau dapati bahwa harga cinta ibu adalah GRATIS

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya
Sang anak pun berlinang air mata dan menatap wajah ibunya
Dan berkata: "Bu, aku sayang sekali sama ibu"
Kemudian ia mengambil pulpen
Dan menulis sebuah kata dengan huruf-huruf besar: "LUNAS"

(MaPI No. 05 Th. IV Mei 2003)

Berhentilah jadi Gelas

Berhentilah jadi Gelas             

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."

Dahulu kala di Tibet

Dahulu kala di Tibet

Ada seeorang bernama Adiba, setiap kai ia bertengkar dan marah pada orang, dengan segera ia akan lari pulang dan lari mengelilingi rumah dan tanahnya sebanyak 3 kali, kemudian duduk tersengal-sengal.
Adiba sangat rajin bekerja, rumahnya makin lama makin besar, tanah makin luas, namun tak peduli berapa besar rumah dan tanahnya, setiap bertengkar atau marah, ia tetap akan berkeliling rumah dan tanahnya 3 keliling.
Semua orang heran mengapa Adiba setiap kali marah akan berlari 3 keliling melingkari rumah dan tanahnya, namun bagaimanapun ditanya, Adiba tak bersedia menjelaskan.

Hingga suatu saat ketika Adiba beranjak tua, rumah dan tanahnya makin luas, saat marah dengan memegang tongkat ia mengelilingi rumah dan tanahnya, hingga ia selesai, matahari telah terbenam……….
Adiba duduk sendiri tersengal-sengal nafasnya, cucunya duduk disebelah dan memohonnya : kakek, usiamu telah lanjut, sekitar area ini juga tak ada seorangpun yang memiliki tanah seluas milikmu, jangan seperti dulu lagi setiap marah berkeliling 3 putaran. Bolehkah kau katakan padaku rahasa ini? Adiba tak tahan mendengar permohonan cucunya, akhirnya diungkapkanlah rahasia yang selama ini terpendam dalam hatinya.
Ia berkata : ketika aku muda dan setiap bertengkat, berdebag dan marah, kemudian berlari keliling 3 putaran, sambil berlari sambil aku berpikir, rumah dan tanahku demikian kecil, mana aku ada waktu dan mana aku punya hak marah pada orang lain ?

Berpikir demikian, maka hilanglah amarahnya, dan waktunya dipergunakan untuk berjuang dan berusaha bekerja
Cucu bertanya lagi : Kakek, umurmu sudah lanjut, juga sudah menjadi orang terkaya, mengapa masih lari berkeliling demikian?

            Adiba dengan tersenyum berkata : sekarang aku masih bisa marah, saat marah sambil berjalan keliling 3 putaran sambil berpikir, rumah dan tanahku sudah sedemikian luas, untuk apa aku berperhitungan dengan orang lain, maka hilanglah amarahku.

Releksi :
Setiap mawar berduri, sama seperti sifat dalam setiap diri manusia, ada sebagian hal yang tak dapat kau tahan/sabar.
Melindungi sekuntum bunga mawar, tidak harus menghilangkan durinya, hanya bisa belajar bagaimana tidak terluka oleh durinya, masi ada lagi, yaitu bagaimana tidak membiarkan duri kita melukai orang yang kita cintai

Pasangan Hidup Sejati


Suatu waktu, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 orang istri. Dia mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak. Sebab, dialah yang tercantik diantara semua istrinya. Pria ini selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini. Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya.
Namun, ia juga selalu khawatir kalau istrinya ini akan lari dengan pria yang lain. Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian. Kapanpun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini. Dialah tempat bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.

Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi kehidupan keluarga ini. Dia lah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sang suami. Akan tetapi, sang pedagang, tak begitu mencintainya. Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang padanya, namun, pedagang ini tak begitu mempedulikannya. Suatu
ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari, bahwa ia akan segera meninggal. Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati.


"Saat ini, aku punya 4 orang istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri." Lalu, ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya.
"Kaulah yang paling kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah.
Nah, sekarang, aku akan mati, maukah kau mendampingiku dan menemaniku? Ia terdiam. "Tentu saja tidak, "jawab istri keempat, dan pergi begitu saja tanpa berkata-kata lagi. Jawaban itu sangat menyakitkan hati. Seakan-akan, ada pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya. Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga. "Akupun mencintaimu sepenuh hati, dan saat
ini, hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku, dan menemani akhir hayatku? Istrinya menjawab: Hidup begitu indah disini. Aku akan menikah lagi jika kau mati. Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya mulai merasa demam. Lalu, ia bertanya pada istri keduanya. "Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau
ikut dan mendampingiku?

Sang istri menjawab pelan. "Maafkan aku," ujarnya "Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti, akan kubuatkan makam yang indah buatmu. Jawaban itu seperti kilat yang menyambar.
Sang pedagang kini merasa putus asa. Tiba-tiba terdengar sebuah suara. "Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Aku, tak akan meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Sang pedagang lalu menoleh ke samping, dan mendapati istri pertamanya disana. Dia tampak begitu kurus.
Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, "Kalau saja, aku bisa merawatmu lebih baik saat ku mampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku."

KESIMPULAN

Teman, sesungguhnya kita punya 4 orang istri dalam hidup ini. Istri yang keempat, adalah tubuh kita. Seberapapun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap-Nya. Istri yang ketiga, adalah status sosial dan kekayaan. Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada
yang lain. Mereka akan berpindah, dan melupakan kita yang pernah memilikinya. Sedangkan istri yang kedua, adalah kerabat dan teman-teman.

Seberapapun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya. Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita. Dan, teman, sesungguhnya, istri pertama kita adalah jiwa dan amal kita. Mungkin, kita
sering mengabaikan, dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi.
Namun, sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi kemanapun kita melangkah. Hanya amal yang mampu
menolong kita di akhirat kelak. Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa dan amal kita dengan bijak. Jangan sampai kita menyesal belakangan.

Sebarkan Cinta Disemua Hati

Sebarkan Cinta disemua Hati

Dipagi yang cerah, mengawali hari dengan senyuman berarti menyebarkan cinta disemua hati. Hati yang penuh cinta akan mengantarkan diri kita pada kebahagiaan dan kesuksesan. Sebab dihati yang penuh cinta mengajarkan pada diri kita untuk mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri.

Saya ingat ibu saya setiap hari kamis selalu membikin kue sebab pada malam harinya dirumah selalu ada acara membaca yasinan, selain anak-anak pengajian juga para tetangga. Terkadang sepotong kue juga terasa enak karena dibuatnya dengan segenap ketulusan hati sehingga setiap kue yang saya makan menanamkan cinta didalam hati.

Saya pernah bertemu anak jika sepatah dua patah kata selanjutnya yang muncul kata-kata penghuni kebon binatang. awalnya saya terkejut mendengarkannya. Tak lama ibunya datang, baru saya menyadari bahwa sang anak mendapatkan pelajaran dari ibunya, sebab ibunda memanggil anaknya dengan sebutan salahsatu penghuni kebon binatang. Ucapan ibu itu menandakan bahwa dirinya yang sedang sakit. hati yang penuh kebencian menyebabkan luka dihati terasa perih, begitu teramat perihnya sampai terdengar dari semua apa yang diucapkan. Bahkan didengar oleh buah hatinya. Hanya dengan cintalah hati yang terluka bisa disembuhkan.

Jika hari ini anda menyapa setiap orang dengan kasih sayang pertanda hati yang sehat. Sebab hati yang sehat senantiasa ucapan dan perbuatan membawa ketentraman dan kedamaian bagi orang lain. hati yang sehat adalah hati yang penuh cinta yang melimpah. Menengok dalam diri. Saya mensyukuri tumbuh dan dewasa didalam keluarga yang selalu menanamkan bibit-bibit cinta sehingga saya juga menanam bibit-bibit cinta dalam keluarga saya. Dan jika diperkenankan saya mengajak anda mari kita sebarkan cinta disemua hati.

Anak Kecil Penjaja Kue

Anak Kecil Penjaja Kue

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan.
Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki
menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?"
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak,
saya sedang makan".

Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama.
Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda.
Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".

Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk
menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.

Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil
penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.
"Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga
untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan
uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.

"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya
ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain.

"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?".

Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis.
Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".

Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak
kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang
anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang.
Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis,
ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum
menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus
ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan", ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.


CATATAN :
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita menjadi "hijau" karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalau kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berarti besar.

Kisah Pencuri Kue

Kisah Pencuri Kue

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu
malam. Masih adabeberapa jam sebelum jadwal terbangnya
tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka.Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.Ia membaca, mengunyah kue dan
melihat jam.
Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga
mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu.
Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup,Si
lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si
lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan
yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia
begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu
gerbang. Menolak untuk menoleh pada si"Pencuri tak
tahu terima kasih!".
Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari
bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia
merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget.
Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. Koq
milikku ada disini erangnya dengan patah hati, Jadi kue tadi
adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat
untuk minta maaf, ia tersandar sedih.
Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima
kasih dan dialah pencuri kue itu.
Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering
terjadi.
Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan
kacamata kita sendiri.Serta tak jarang kita
berprasangka buruk. Orang lainlah yang kasar, orang
lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang salah. Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu. Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya. "Sebaik-baik berKetuhanan adalah tetap semangat mencari kebenaran dg lapang-hati, ... toleran, tanpa kefanatikan, & tidak membelenggu jiwa."
 

Kisah Bambu dan Petani

Kisah Bambu dan Petani

Pada suatu waktu ada sebuah kebun yang ditanami oleh berbagai tanaman indah.
Kebun itu dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati oleh seorang petani.
Setiap hari ia menyiangi dan merawat semua tanaman yang tumbuh di sana dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Dari sekian tanaman yang ada dalam kebun itu, bambu adalah tanaman yang paling dicintainya. Bambu memang tanaman yang paling indah yang tumbuh di dalam kebun itu. Bambu tumbuh
berbaris berjajar mengelilingi kebun bak pagar kokoh yang melindungi tanaman lain. Batangnya berdiri paling tinggi menjulang ke atas seolah menopang langit. Bila angin tiba, tubuhnya bergoyang-goyang lembut dan daunnya gemerisik melantunkan kidung merdu. Siapa pun yang mendengarnya pasti
terpesona. Bila hujan turun, tetes-tetes sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun berkilauan seperti anting-anting berlian dikenakan oleh seorang gadis cantik. Ranting-rantingnya taut-bertaut memberikan tempat bagi burung-burung untuk beristirahat. Di udara yang panas, daun-daun rindangnya
menaungi tanaman kecil dari teriknya mentari. Petani itu selalu memandangi bambu itu dengan pandangan penuh suka cita. Suatu hari, petani itu mendatangi bambu. Ia mengusap batang bambu itu dan berbisik pada sang bambu.
Dengan gembira, sang bambu merundukkan kepalanya perlahan agar dapat mendengar bisikan petani. Petani itu berbisik lembut, "Bambu oh bambu, aku bermaksud menggunakanmu." Bambu itu merasa berbahagia. Ia telah menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari,
dari tahun ke tahun ia memperkuat diri. Batangnya telah tumbuh hijau, kokoh, besar dan kuat.Kini tibalah waktu baginya untuk memenuhi takdir mengapa ia diciptakan di muka bumi. Bambu menjawab bisikan petani, "Oh, tuanku. Aku telah siap. Gunakan aku sebagaimana kau kehendaki."Bambu oh bambu," suara
petani itu bergetar. "Aku harus menebang dan memotong tubuhmu." Bambu itu gemetar penuh ketakutan. "Oh, tuanku. Mengapa kau harus memotong tubuhku yang indah ini? Bukankah kau telah merawatku sedemikian rupa sehingga aku tumbuh menjadi bambu tercantik yang pernah ada. Jangan potong tubuhku.
Gunakan saja aku sebagai penyejuk pandanganmu, penghias kebun ini." "Bambu oh bambu," suara petani itu semakin bergetar. "Bila aku tidak memotong tubuhmu aku tidak dapat menggunakanmu." Tiba-tiba suasana kebun itu menjadi sunyi senyap. Angin menahan nafasnya. Dengan perlahan sang bambu meluruhkan kebanggaannya, tunduk patuh pada permintaan tuannya yang telah merawat hidupnya selama ini. "Oh, tuanku. Bila kau tak dapat menggunakanku tanpa memotong tubuhku, maka lakukanlah. Potonglah tubuhku.""Bambu oh bambu,"
lanjut petani. "Aku pun akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu."
"Oh, tuanku. Kasihanilah aku," rengek sang bambu. "Kau boleh memotong tubuhku yang indah ini. Tetapi, mengapa kau harus memangkas daun dan ranting-ranting juga?""Bambu oh bambu. Bila aku tidak memangkasnya, aku tidak bisa menggunakanmu," jawab petani. Matahari menyembunyikan wajahnya.
Dengung lebah pun terhenti. Sadar akan pengabdiannya pada petani, bambu itu pun menjawab, "Oh, tuanku. Lakukanlah." "Bambu oh bambu. Aku pun akan membelah tubuhmu menjadi dua dan memotong buku-bukumu, bila tidak aku tidak
bisa menggunakanmu," kata petani. Sang bambu tersungkur di tanah penuh penyerahan diri. "Oh tuanku. Bila itu yang kau kehendaki, belahlah tubuhku."
Kemudian, petani itu memotong bambu, membersihkan batangnya dari ranting-rantng dan daun-daun. Membelah batangnya menjadi dua dan membersihkan buku-bukunya. Setelah itu, dengan hati-hati petani memanggul bambu itu dan membawanya ke lembah bukit tempat sebuah mata air jernih
memancar dari sela-sela batu. Ia lalu meletakkan satu ujung bambu untuk menampung air dan menyambung ujung satunya dengan batang bambu lain terus memanjang sehingga menuju sebuah sawah padi yang kering. Ya... bambu itu kini bertugas sebagai saluran air. Tubuhnya yang dulu menjulang tinggi, kini berkelok-kelok menuruni lembah menjadi tempat mengalirnya air bergemericik menuju sawah petani. Dan, petani pun bisa menanami sawahnya dengan pepadian.
Beberapa bulan kemudian. Padi telah menguning matang dan siap untuk dipanen. Para petani dengan suka cita turun ke sawah memanennya. Pada saat itulah, sang bambu menyadari bahwa ia pernah begitu bangga dengan kecantikannya. Namun, dalam kepatuhan dan pengorbanan, kejayaan hidupnya sedikitpun
berkurang bahkan kini ia menjadi penyambung hidup bagi dunia yang lebih semesta.


Editor: Siapakah bambu itu? Siapakah petani itu? Bila bambu itu adalah kita, manusia, apa kepatuhan kita pada Sang Maha Pencipta.

Garam dan Telaga

Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi,
datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet.
Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya.
Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama.
Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini,
untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam,
ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.
Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi,
"Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda.
Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari
wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari
perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita.
Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup,
hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu…. ! “.

Si Penjual Koran

SI PENJUAL KORAN
(sebuah renungan)
Ketika pulang dari kantor sekitar jam 17.30 BBWI, di perempatan jalan TMII menuju kampung rambutan mobilku berhenti karena lampu merah. Sekilas kulihat ada seorang anak kecil yang menjajakan koran, debu jalanan menempel dipipinya. Anak itu mengenakan kaos seragam olah raganya yang berwarna biru dan kelihatannya telah lusuh dengan celana merah, khasnya celana anak SD. Namun, di wajahnya kulihat penuh enerjik. Pertama dia tawarkan kepada mobil Kijang di depanku meskipun ternyata pemilik mobil tidak berminat membelinya, kemudian dia mendatangiku dan “Pak, korannya pak, ada koran pagi harganya didiskon deh buat bapak Rp. 500,- ada juga koran petang, “ setengah bercanda anak itu bicara. Aku tersenyum mendengar celotehannya. “Kenapa kamu masih menjual koran sore nak?
Kan beritanya udah basi,” aku coba mengajak ngobrol sambil menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. “Lumayan pak, apabila kejual untungnya buat aku semuanya”, anak itu berkata lagi. Kutimpali “ Emang gak setorkan uangnya ke pengecer?”. “Tidak pak, ini dikasih ama pengecer daripada mubazir katanya”, anak itu mencoba menjelaskannya padaku.
“Kamu sehari dapat berapa kalau jualan gini?” kutanya sambil kulihat lampu kalau-kalau sudah hijau. “Lumayan pak buat makan ama bayar sekolah” dijawab singkat olehnya. “Kalau sama para pengemis yang sebayamu itu (sambil kutunjuk beberapa anak kecil yang meminta-minta) gedean mana hasilnya” kutanya dia. Diapun menjawab” Gedean dialah, kadang mereka dapat Rp. 50.000,- sehari, kalau aku yaahhhhh kelaut aja”. Akupun tertawa mendengarnya.
“Kok kamu gak ikutan kayak mereka?,
kan lumayan hasilnya,” ujarku, “Bapakku bisa marah kalau aku seperti mereka,” kata dia seraya menunjuk kearah segerombolan anak kecil itu. “Mending jualan koran lebih bermartabat kata bapak, daripada harus ngemis seperti itu, lagian akunya juga malu, kan kata bapakku Islam menganjurkan ‘lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah’, makanya aku jualan aja, juga kata bapakku biar gedenya aku bisa jadi orang yang berguna buat orang lain, aku sendiri gak tau yang bapak omongin, tapi percaya itu benar” dengan panjang lebar dia mencoba menjelaskannya.
Akupun trenyuh mendengarnya, terus terang aku malu padanya, tanpa kenal lelah, sepulang sekolah, menahan terik matahari, bernafaskan debu jalanan, dia mencoba mencari uang demi sebuah angan-angannya. Sedangkan aku di kantor ber-AC, kerja cuma duduk saja, sesekali kadang main game, masih saja mengeluh masalah gaji yang kudapat setiap awal bulan, padahal menurut orang-orang itu sudah lebih dari cukup. Ya, Tuhan betapa aku menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat-Mu…..
“Koran tadi pagi ada berapa? Aku beli semuanya ya,” tanyaku sambil kulirik lampu lalu lintas yang belum hijau juga. “Semuanya sih ada
lima lagi tinggal kompas 3 sama republika 2, tapi buat apaan pak semuanya? Bapak kasihan ya ama aku? Setengah bingung dia bertanya. “Bapak perlu buat bungkus buku di rumah, makanya perlu banyak kan kalau dibacapun beritanya udah bapak baca di kantor tadi.” Kucoba jelaskan agar dia tidak tersinggung, padahal terus terang aku iba padanya atas ketegarannya itu. “Semuanya Rp. 2.500,- pak,” ujarnya, akupun merogoh uang Rp. 5.000,- dan menyerahkan padanya setelah kuambil lima korannya. Pas dia menghitung uang kembalianku, sebelum diserahkan padaku, mobilku berjalan pelan karena lampu sudah hijau sambil berkata padanya,”Kembaliannya besok bapak ambil ya, bapakkan sering lewat sini,” aku berkata sambil menoleh sebentar padanya, setengah bingung lagi dia cuma mengangguk. Padahal aku sering pulang kantor lewat tol, jarang lewat jalan TMII. Sengaja ku berkata begitu agar dia tidak tersinggung, kenyataannya aku memang pengen ngasih uang padanya sebagai kenang-kenangan dari seorang teman ngobrolnya di perempatan jalan, bukan karena kasihan.
Mobilku melaju menjauhinya, dalam hatiku berkata, Ya Tuhan tegarkanlah hatiku seperti anak itu dalam mengarungi hidup ini, dalam menafkahi anak istriku. Akupun berterima kasih pada anak itu atas nasihat terselubungnya. Terlintas wajah istriku dan anak tercinta, akupun menancap gas dengan pasti sambil berkata “ayah pulang nak.”

(true story, for someone who loves)

Pengorbanan dan Cinta Seorang Ibu

Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya sungguh memalukan. Ia menjadi juru masak di sekolah, untuk membiayai keluarga. Suatu hari ketika aku masih SD, ibuku datang. Aku sangat malu. Mengapa ia lakukan ini? Aku memandangnya dengan penuh kebencian dan melarikan diri.

Keesokan harinya di sekolah. ”Ibumu hanya punya satu mata?!?!” Iieeeeee, jerit seorang temanku. Aku berharap ibuku lenyap dari muka bumi. Ujarku pada ibu, “Bu, Mengapa Ibu tidak punya satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatku ditertawakan, lebih baik Ibu mati saja!!!” Ibuku tidak menyahut. Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini. Mungkin karena Ibu tidak menghukumku, tapi aku tak berpikir sama sekali bahwa perasaannya sangat terluka karenaku.

Malam itu. Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang menangis, tanpa suara, seakan-akan ia takut aku akan terbangun karenanya. Ia memandangku sejenak, dan kemudian berlalu. Akibat perkataanku tadi, hatinya tertusuk. Walaupun begitu, aku membenci ibuku yang sedang menangis dengan satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses.

Kemudian aku belajar dengan tekun. Kutinggalkan ibuku dan pergi ke Singapura untuk menuntut ilmu. Lalu aku pun menikah. Aku membeli rumah. Kemudian akupun memiliki anak. Kini aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku.
Kebahagian ini bertambah terus dan terus, ketika ibuku datang ke rumahku. Apa?! Siapa ini?! Itu ibuku. Masih dengan satu matanya. Seakan-akan langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlari ketakutan, ngeri melihat mata Ibuku. Kataku, “Siapa kamu?! Aku tak kenal dirimu!!” ”Berani-beraninya kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku! !” ”KELUAR DARI SINI! SEKARANG!!” Ibuku hanya menjawab perlahan, “Oh, maaf. Sepertinya saya salah alamat,” dan ia pun berlalu. Untung saja ia tidak mengenaliku. Aku sungguh lega. Aku tak peduli lagi. Akupun menjadi sangat lega.

Suatu hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku di Singapura. Aku berbohong pada istriku bahwa aku ada urusan kantor. Akupun pergi ke sana. Setelah reuni, aku mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah.. Hanya ingin tahu saja.

Di sana, kutemukan ibuku tergeletak dilantai yang dingin. Namun aku tak meneteskan air mata sedikit pun. Ada selembar kertas di tangannya. Sepucuk surat untukku. ”Anakku..Kurasa hidupku sudah cukup panjang.. Dan aku tidak akan pergi ke Singapura lagi. Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sekali ? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat gembira ketika tahu kau akan datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah. Demi kau. Dan aku minta maaf karena hanya membuatmu malu dengan satu mataku.

Kau tahu, ketika kau masih sangat kecil, kau mengalami kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu tumbuh hanya dengan satu mata. Maka aku berikan mataku untukmu. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia untukku, ditempatku, dengan mata itu. Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu. Ketika kau marah padaku.. Aku hanya membatin sendiri, “Itu karena ia mencintaiku” Anakku! Oh, anakku!”

Kisah Sebatang Pensil

"Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya" (Pepatah Jepang)
Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil. Dikisahkan, sebuah pensil akan segera
dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.
"Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal."
"Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal".
"Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam
dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia".
"Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu" .
"Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat".
Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.
Pembaca, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.
Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai
tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.
Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan "tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya". Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.
Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan.
Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian
akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia.
Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal
untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless.
Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.
Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan
ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler.
Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu 'sakit'. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.
Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.
Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk 'tunduk' dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari 'guru' yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.
Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi 'memberi dan melayani' yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta ataupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan.
Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler.